Search your knowledge!

Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

lembaga negara bantu



BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Setelah negara indonesia merdeka lebih dari enam puluh tahun yang lalu, Indonesia telah mengalami berbagai peristiwa penting dalam bidang kenegaraan. Pergolakan masyarakat di daerah, peralihan pemegang kekuasaan pemerintah, hingga pergantian hukum dasar negara menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam sejarah negara ini sejak awal terbentuknya hingga beberapa tahun terakhir. Salah satu perkembangan yang menonjol dari sudut pandang ketatanegaraan diawali ketika negara ini mengalami gejolak pasca krisis moneter yang mengakibatkan tersingkirnya Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaan pada 1998. Setelah melewati masa transisi yang dipimpin oleh Presiden B.J. Habibie selama sekitar dua tahun, tuntutan kebutuhan akan sistem ketatanegaraanyang lebih baik pun mulai berusaha diwujudkan oleh para petinggi di negara ini. Tahun 1999 menjadi tonggak yang menyadarkan bangsa Indonesia bahwa ide penyakralan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD Negara RI Tahun 1945 ) tidaklah relevan dalam kehidupan bernegara. Salah satu lembaga negara bantu yang dibentuk pada era reformasi di Indonesia adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga ini dibentuk sebagai salah satu bagian agenda pemberantasan korupsi yang merupakan salah satu agenda terpenting dalam pembenahan tata pemerintahan di Indonesia. Dengan demikian, kedudukan lembaga negara bantu dalam sistem ketatanegaraan yang dianut negara Indonesia masih menarik untuk diperbincangkan. Makalah ini akan membahas lebih lanjut mengenai kedudukan lembaga negara bantu dalam struktur ketatanegaraan RI, tidak hanya ditinjau dari UUD Negara RI Tahun 1945, tetapi juga berdasarkan berbagai pendapat para ahli di bidang hukum tata negara, dengan menjadikan KPK sebagai contoh lembaga negara bantu yang akan dianalisis kedudukannya.




B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan lembaga negara bantu dan bagaimana kedudukannya dalam suatu sistem ketatanegaraan?
2. Bagaimanakah kedudukan komisi pemberantasan korupsi (kpk) sebagai lembaga negara   bantu di dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia (RI)?


























BAB II
PEMBAHASAN

A. Pemahaman Tentang Lembaga Negara
Lembaga negara terkadang disebut dengan istilah lembaga pemerintahan, lembaga pemerintah nodepartemen, atau lembaga negara saja. Ada yang dibentuk berdasarkan atau karena diberi kekuasaaan oleh Undang-Undang Dasar, ada pula yang dibentuk dan mendapatkan kekuasaanya dari Undang-Undang, dan bahkan ada pula yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden. Hierarki atau ranking kedudukanya tentu saja tergantung pada derajat pengaturanya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
            Lembaga negara yang diatur dan dibentuk oleh Undang-Undang Dasar merupakan organ konstitusi, sedangkan yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang merupakan organ undang-undang, sementara yang hanya dibentuk karena Keputusan Presiden tentunya lebih rendah lagi tingkatan dan derajat perlakuan hukum terhadap pejabat yang duduk di dalamnya. Demikian pula jika lembaga dimaksud dibentuk dan diberi kekuasaan berdasarkan peraturan daerah, tentu lebih rendah lagi tingkatannya.
            Karena warisan sistem lama, harus diakui bahwa di tengah masyarakat kita masih berkembang pemahamanya yang luas bahwa pengertian lembaga negara dikaitkan dengan cabang-cabang kekuasaan tradisional legislatif, eksekutif dan yudikatif. Lembaga negara dikaitkan dengan pengertian lembaga yang berada di ranah kekuasaaan legislatif disebut lembaga legislatif, yang berada di ranah eksekutif disebut lembaga pemerintah, dan yang berada di ranah judikatif disebut sebagai lembag pengadilan.
            Oleh karena itu, sebelum perubahan UUD1945, biasa dikenal adanya istilah lembaga pemerintah, lembaga departemen, lembaga pemerintah nondepartemen, lembaga negara, lembaga tinggi negara, dan lembaga tertinggi negara. Dalam hukum tata negara biasa dipakai pula istilah yang menunjuk kepada pengertian yang lebih terbatas, yaitu alat perlengkapan negara yang biasanya dikaitkan dengan cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudisial.[1]
Salah satu konsekuensi dari dilakukannya perubahan terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 adalah munculnya beragam penafsiran mengenai istilah & ldquo;lembaga negara” akibat kekurangjelasan UUD Negara RI Tahun 1945 dalam mengatur lembaga negara. Hal ini dapat terlihat dari tiadanya kriteria untuk menentukan apakah suatu lembaga dapat diatur atau tidak dalam konstitusi.
Dari berbagai penafsiran yang ada, salah satunya adalah penafsiran yang membagi lembaga negara menjadi lembaga negara utama (state main organ) dan lembaga negara bantu (state auxiliary organ). Lembaga negara utama mengacu kepada paham trias politica yang memisahkan kekuasaan menjadi tiga poros (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Dengan
menggunakan pola pikir ini, yang dapat dikategorikan sebagai lembaga negara utama menurut UUD Negara RI Tahun 1945 adalah MPR, Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY). Dengan demikian, lembaga-lembaga lain yang tidak termasuk kategori tersebut merupakan lembaga negara bantu. Setelah memahami apa itu lembaga negara, dilanjutkan  dengan membahas pengertian lembaga negara bantu dan bagaimana kedudukanya dalam sistem ketatanegaraan republik indonesia.[2]

B. Pengertian Lembaga Negara Bantu
Kemunculan lembaga negara yang dalam pelaksanaan fungsinya tidak secara jelas memosisikan diri sebagai salah satu dari tiga lembaga trias politica mengalami
perkembangan pada tiga dasawarsa terakhir abad ke-20 di negara-negara yang telah mapan berdemokrasi,. Istilah “lembaga negara bantu” merupakan yang paling umum digunakan oleh para pakar dan sarjana hukum tata negara, walaupun pada kenyataannya terdapat pula yang berpendapat bahwa istilah “lembaga negara penunjang” atau “lembaga negara independen” lebih tepat untuk menyebut jenis lembaga tersebut. M. Laica Marzuki cenderung mempertahankan istilah state auxiliary institutions alih-alih “lembaga negara bantu” untuk menghindari kerancuan dengan lembaga lain yang berkedudukan di bawah lembaga negara konstitusional. Kedudukan lembaga-lembaga ini tidak berada dalam ranah cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Namun, tidak pula lembaga-lembaga tersebut dapat diperlakukan sebagai organisasi swasta ataupun lembaga non-pemerintah yang lebih sering disebut ornop (organisasi non-pemerintah) atau NGO non-governmental
organization).
Lembaga negara bantu ini sekilas memang menyerupai NGO karena berada di luar struktur pemerintahan eksekutif. Akan tetapi, keberadaannya yang bersifat publik, sumber pendanaan yang berasal dari publik, serta bertujuan untuk kepentingan publik, membuatnya tidak dapat disebut sebagai NGO dalam arti sebenarnya. Sebagian ahli tetap mengelompokkan lembaga independen semacam ini dalam lingkup kekuasaan
eksekutif, namun terdapat pula beberapa sarjana yang menempatkannya secara tersendiri sebagai cabang keempat dalam kekuasaan pemerintahan
. Secara teoritis, lembaga negara bantu bermula dari kehendak negara untuk membuat lembaga negara baru yang pengisian anggotanya diambil dari unsur non-negara, diberi otoritas negara, dan dibiayai oleh negara tanpa harus menjadi pegawai negara. Gagasan lembaga negara bantu sebenarnya berawal dari keinginan negara yang sebelumnya kuat ketika berhadapan dengan masyarakat, rela untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengawasi. Jadi, meskipun negara masih tetap kuat, ia diawasi oleh masyarakat sehingga tercipta akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horizontal. Munculnya lembaga negara bantu dimaksudkan pula untuk menjawab tuntutan masyarakat atas terciptanya prinsip-prinsip demokrasi dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan melalui lembaga yang akuntabel, independen, serta dapat
dipercaya
. Selain itu, faktor lain yang memicu terbentuknya lembaga negara bantu adalah terdapatnya kecenderungan dalam teori administrasi kontemporer untuk mengalihkan
tugas-tugas yang bersifat regulatif dan administratif menjadi bagian dari tugas lembaga independen. Berkaitan dengan sifatnya tersebut, John Alder mengklasifikasikan
jenis lembaga ini menjadi dua, yaitu: (1) regulatory, yang berfungsi membuat aturan serta melakukan supervisi terhadap aktivitas hubungan yang bersifat privat; dan (2)
advisory, yang berfungsi memberikan masukan atau nasihat kepada pemerintah.
Jennings, sebagaimana dikutip Alder dalam Constitutional and Administrative Law, menyebutkan lima alasan utama yang melatarbelakangi dibentuknya lembaga negara bantu dalam suatu pemerintahan, alasan-alasan itu adalah sebagai berikut:
1.      Adanya kebutuhan untuk menyediakan pelayanan budaya dan pelayanan yang bersifat personal yang diharapkan bebas dari risiko campur tangan politik.
2.      Adanya keinginan untuk mengatur pasar dengan regulasi yang bersifat non-politik.
3.      Perlunya pengaturan mengenai profesi-profesi yang bersifat independen, seperti profesi di bidang kedokteran dan hokum.
4.      Perlunya pengadaan aturan mengenai pelayanan-pelayanan yang bersifat teknis.
5.      Munculnya berbagai institusi yang bersifat semiyudisial dan berfungsi untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan (alternative dispute resolution/
alternatif penyelesaian sengketa)[3]
                                                                                               


C. Kedudukan KPK Sebagai Lembaga Negara Bantu Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia
Salah satu hasil dari Perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Negara RI Tahun 1945) adalah beralihnya supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi supremasi konstitusi. Akibatnya sejak masa reformasi, Indonesia tidak lagi menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara sehingga semua lembaga negara sederajat kedudukannya dalam sistem checks and balances. Hal ini merupakan konsekuensi dari supremasi konstitusi, dimana konstitusi diposisikan sebagai hukum tertinggi yang mengatur dan membatasi kekuasaan lembaga-lembaga penyelenggara negara[4]
Perkembangan konsep trias politica juga turut memengaruhi perubahan struktur kelembagaan di Indonesia. Di banyak negara, konsep klasik mengenai pemisahan kekuasaan tersebut dianggap tidak lagi relevan karena tiga fungsi kekuasaan yang ada tidak mampu menanggung beban negara dalam menyelenggarakan pemerintahan. Untuk menjawab tuntutan tersebut, negara membentuk jenis lembaga negara baru yang diharapkan dapat lebih responsif dalam mengatasi persoalan aktual negara. Maka, berdirilah berbagai lembaga negara bantu dalam bentuk dewan, komisi, komite, badan, ataupun otorita, dengan masing-masing tugas dan wewenangnya. Beberapa ahli tetap mengelompokkan lembaga negara bantu dalam lingkup eksekutif, namun ada pula sarjana yang menempatkannya tersendiri sebagai cabang keempat kekuasaan pemerintahan.
Dalam konteks Indonesia, kehadiran lembaga negara bantu menjamur pascaperubahan UUD Negara RI Tahun 1945. Berbagai lembaga negara bantu tersebut tidak dibentuk dengan dasar hukum yang seragam. Beberapa di antaranya berdiri atas amanat konstitusi, namun ada pula yang memperoleh legitimasi berdasarkan undang-undang ataupun keputusan presiden.  Salah satu lembaga negara bantu yang dibentuk dengan undang-undang adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Walaupun bersifat independen dan bebas dari kekuasaan manapun, KPK tetap bergantung kepada kekuasaan eksekutif dalam kaitan dengan masalah keorganisasian, dan memiliki hubungan khusus dengan kekuasaan yudikatif dalam hal penuntutan dan persidangan perkara tindak pidana korupsi.
Kedepannya, kedudukan lembaga negara bantu seperti KPK membutuhkan legitimasi hukum yang lebih kuat dan lebih tegas serta dukungan yang lebih besar dari masyarakat.[5]
Lembaga ini juga dibentuk sebagai salah satu bagian agenda pemberantasan korupsi yang merupakan salah satu agenda terpenting dalam pembenahan tata pemerintahan di Indonesia. Dengan demikian, kedudukan lembaga negara bantu dalam sistem ketatanegaraan yang dianut negara Indonesia masih menarik untuk diperbincangkan.[6]
komisi pemberantasan korupsi ini dibentuk berdasarkan Undang-Uundang No. 30 tahun 2002  tentang komisi pemberantasan tindak pidana korupsi  pasal 1 undang-undang ini menentukan bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyedikian, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tindak pidana korupsi itu sendiriri adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan korupsi sebagaimana telah di ubah dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang no 31 tahun 1999 tentang pemberantsan tindak pidana korupsi. Setiap penyelenggara negara sperti yang dimaksud dalam Undang-Undang No 28 tahun 1999 tentang penyelanggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme diharapkan dapat di bebaskan dari segala bentuk perbuatan yang tidak terpuji ini, sehingga terbentuk aparat dan aparatur penyelenggara negara yang benar benar bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Dengan Undang-Undang No.32 tahun 2002 ini, nam komisi pemberantasan tindak pidana korupsi selanjutnya disebut komisi pemberantasan korupsi (KPK) status hokum komisi ini secara tegas ditentukn sebagai lembaga negara yang dalam melaksnakan tugas dan wewenaganya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun pembentukan komisi ini bertujuan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna upaya pemberantsan tindak pidana korupsi yang sudah berjalan sejak sebelumnya. Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya itu, komisi bekerja berdasarkan asas-asas (a) kepastian hukum, (b) ketrbukaan , (c) akuntabilitas, (d) kepentingan umum, dan (e) proporsionalitas.
Komisi Pemberantasan Korupsi berkedudukan di ibukota di Negara Republik Indonesia dan wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Karena luasnya cakupan dan jan jangkauan tugas dan kewenanganya itu, maka ditentukan pula bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi dapat membentuk perwakilan di daerah-daerah provinsi di seluruh indonesia. Dalam menjalankan atau melaksanakan tugas dan wewenangnya, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) bertanggung jawab kepada publik atsa pelaksanaan tugasnya dan menyampaikan laporanya secara terbuka dan berkala kepada presiden, dewan perwakilan rakyat (DPR) dan badan pemeriksa keuangan (BPK). Pertanggungjawaban publik yang dimaksud itu dilaksanakan dengan cara (a) wajib audit terhadap kinerja dan pertanggung jawaban keuangan sesuai dengan program kerjanya, (b) menerbitkan laporan tahunan, dan (c) membuka akses informasi.[7]

















BAB III
ANALISIS

Mengenai kedudukan lembaga negara bantu kususnya komisi pemberantassan korupsi adalah lembaga negara yang bersifat independen dan berkaitan dengan kekuasaan kehakiman tetapi tidak berada di bawah kekuasaan kehakiman. Dalam hal ini juga di tegaskan terkait status keberadaan sebuah lembaga negara, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, instilah “lembaga negara” tidak selalu dimasukkan sebagai lembaga negara yang hanya disebutkan dalam Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 saja, atau yang dibentuk berdasarkan perintah konstitusi, tetapi juga ada lembaga negara lain yang dibentuk dengan dasar perintah dari peraturan di bawah konstitusi, seperti Undang-Undang dan bahkan Keputusan Presiden (Keppres). Sedangkan, ada yang berpendapat bahwa keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi adalah ekstra konstitusional adalah keliru. Karena, keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara tegas diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai bentuk politik hukum pemberantasan korupsi di tanah air. Dengan demikian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga pemberantas korupsi yang kuat bukan berada di luar sistem ketatanegaraan, tetapi justru ditempatkan secara yuridis di dalam sistem ketatanegaraan yang rangka dasarnya sudah ada di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dan juga bahwa Kedudukan Organ lapis kedua dapat disebut lembaga negara saja. Ada yang mendapat kewenangannya dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, misalnya adalah Komisi Yudisial, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara; sedangkan lembaga yang sumber kewenanganya adalah undang-undang, misalnya, adalah Komnas HAM, Komisi Penyiaran Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi dan Sebagainya. Kedudukan kedua jenis lembaga negara tersebut dapat disebandingkan satu sama lain. Hanya saja, kedudukannya meskipun tidak lebih tinggi, tetapi jauh lebih kuat. Keberadaannya disebutkan secara emplisit dalam undang-undang, sehingga tidak dapat ditiadakan atau dibubarkan hanya karena kebijakan pembentuk undang undang.
Kemudian langkah pemberantasan korupsi sudah sejak lama dilakukan oleh pemerintah negara ini. Bahkan, sejarah mencatat bahwa Indonesia adalah negara pertama di Asia yang mencanangkan suatu peraturan khusus mengenai pemberantasan korupsi. Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat yang saat itu dijabat Jenderal A.H. Nasution menerbitkan Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat tanggal 16 April 1958 Nomor Prt/Peperpu/C13/1958 untuk memberantas korupsi yang gejalanya mulai tampak pada tahun tersebut. Selanjutnya, seiring pergantian masa pemerintahan, peraturan mengenai pemberantasan korupsi terus diperbaiki dengan pembentukan undang-undang, mulai dari Undang- undang Nomor 24 (Prp) Tahun 1960,29 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, hingga yang terakhir Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001. Peraturan yang terus dikembangkan tidak lantas menjadikan upaya pemberantasan korupsi semakin mudah dilaksanakan. Justru sebaliknya, bentuk kejahatan ini meluas, tidak hanya di kalangan aparat negara, tetapi juga merambah di sektor swasta. Korupsi benar-benar telah mengakar dalam kebiasaan masyarakat. Perbuatan yang dahulu dianggap delik umum pun kini digolongkan sebagai tindak pidana korupsi sehingga menjadikan definisi korupsi meluas. Perbuatan yang dahulu dikategorikan sebagai delik umum dan diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), seperti penyuapan misalnya, kini dimasukkan dalam ruang lingkup delik khusus dan diatur dalam peraturan mengenai tindak pidana korupsi. Bahkan, Pasal 2 ayat (1) Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa perbuatan yang secara formil tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan dapat dipidana apabila dianggap tidak sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat. Sebagai langkah preventif sekaligus represif dalam memberantas korupsi yang saat ini dianggap extraordinary crime atau kejahatan luar biasa, pada tahun 2002 didirikanlah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Undang- undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan: Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Kebutuhan akan adanya KPK dilatarbelakangi rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara yang seharusnya mengurusi masalah korupsi. Lembaga peradilan yang diharapkan dapat menegakkan hukum justru dinilai ikut menyuburkan perilaku korupsi. Mafia peradilan atau judicial corruption telah menjadi momok baru bagi dunia peradilan tanah air.
Masyarakat yang semakin berkembang ternyata menghendaki negara memiliki struktur organisasi yang lebih responsif terhadap tuntutan mereka. Sebagai jawaban atas tuntutan perkembangan tersebut, berdirilah lembaga-lembaga negara baru yang berupa dewan, komisi, komite, badan atau otorita. Salah satu lembaga negara bantu yang dibentuk pada era reformasi adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Permasalahan yang diangkat adalah apa kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dan bagaimana pengaturan, fungsi, tugas dan wewenang Komisi pemberantasan Korupsi ( KPK ) agar tidak berbenturan dengan lembaga lain. Metode penelitian yang dilakukan adalah metode yuridis normatif dan juga sosiologis. Berdasarkan penelitian tersebut kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi adalah sebagai lembaga negara bantu yang independen. Keberadaan KPK dengan segala tugas dan wewenangnya, tidak berbenturan dengan Kepolisian dan Kejaksaan dalam melakukan tugas dan wewenangnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Lembaga Kepolisian, Kejaksaan dan KPK diharapkan dapat bekerja sama demi memberantas tindak pidana korupsi.











BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan mengenai Analisis Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia dapat disimpulkan bahwa kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga negara yang bersifat independen dan berkaitan dengan kekuasaan kehakiman tetapi tidak berada di bawah kekuasaan kehakiman. Dalam hal ini juga di tegaskan terkait status keberadaan sebuah lembaga negara, Mahkamah Konstitusi  menyatakan bahwa dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, instilah “lembaga negara” tidak selalu dimasukkan sebagai lembaga negara yang hanya disebutkan dalam Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 saja, atau yang dibentuk berdasarkan perintah konstitusi, tetapi juga ada lembaga negara lain yang dibentuk dengan dasar perintah dari peraturan di bawah konstitusi, seperti Undang Undang dan bahkan Keputusan Presiden (Keppres). Sedangkan, ada yang berpendapat bahwa keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi adalah ekstra konstitusional adalah keliru. Karena, keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara tegas diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai bentuk politik hukum pemberantasan korupsi di tanah air. Dengan demikian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga pemberantas korupsi yang kuat bukan berada di luar sistem ketatanegaraan, tetapi justru ditempatkan secara yuridis di dalam sistem ketatanegaraan yang rangka dasarnya sudah ada di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.






Daftar Pustaka

Jimly asshiddiqie, Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Refor    masi,Sinar Grafika, (Jakarta Timur, Mei 2010),

Jimly Asshiddiqie (a), Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I (Jakarta: Konstitusi Press, 2006),





[1] ­Jimly asshiddiqie, Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sinar Grafika, (Jakarta Timur, Mei 2010), Hlm 37
[4]Jimly Asshiddiqie (a), Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hal. 2-3

[7] Ibid ­Jimly asshiddiqie, Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sinar Grafika, (Jakarta Timur, Mei 2010), Hlm 193-196


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar