BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Setelah negara indonesia
merdeka lebih dari enam puluh tahun yang lalu, Indonesia telah mengalami
berbagai peristiwa penting dalam bidang kenegaraan. Pergolakan masyarakat di
daerah, peralihan pemegang kekuasaan pemerintah, hingga pergantian hukum dasar
negara menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam sejarah negara ini sejak
awal terbentuknya hingga beberapa tahun terakhir. Salah satu perkembangan yang
menonjol dari sudut pandang ketatanegaraan diawali ketika negara ini mengalami
gejolak pasca krisis moneter yang mengakibatkan tersingkirnya Presiden Soeharto
dari tampuk kekuasaan pada 1998. Setelah melewati masa transisi yang dipimpin
oleh Presiden B.J. Habibie selama sekitar dua tahun, tuntutan kebutuhan akan sistem
ketatanegaraanyang lebih baik pun mulai berusaha diwujudkan oleh para petinggi
di negara ini. Tahun 1999 menjadi tonggak yang menyadarkan bangsa Indonesia
bahwa ide penyakralan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(selanjutnya disebut UUD Negara RI Tahun 1945 ) tidaklah relevan dalam
kehidupan bernegara. Salah satu lembaga negara bantu yang dibentuk pada era reformasi di
Indonesia adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga ini dibentuk
sebagai salah satu bagian agenda pemberantasan korupsi yang merupakan salah
satu agenda terpenting dalam pembenahan tata pemerintahan di Indonesia. Dengan demikian, kedudukan lembaga
negara bantu dalam sistem ketatanegaraan yang dianut negara Indonesia masih
menarik untuk diperbincangkan. Makalah ini akan membahas lebih lanjut mengenai kedudukan lembaga negara bantu
dalam struktur ketatanegaraan RI, tidak hanya ditinjau dari UUD Negara RI Tahun
1945, tetapi juga berdasarkan berbagai pendapat para ahli di bidang hukum tata
negara, dengan menjadikan KPK sebagai contoh lembaga negara bantu yang akan
dianalisis kedudukannya.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan lembaga negara bantu dan bagaimana kedudukannya
dalam suatu sistem ketatanegaraan?
2. Bagaimanakah kedudukan komisi pemberantasan korupsi (kpk) sebagai
lembaga negara bantu di dalam sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia (RI)?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pemahaman
Tentang Lembaga Negara
Lembaga negara terkadang disebut dengan istilah lembaga pemerintahan,
lembaga pemerintah nodepartemen, atau lembaga negara saja. Ada yang dibentuk
berdasarkan atau karena diberi kekuasaaan oleh Undang-Undang Dasar, ada pula
yang dibentuk dan mendapatkan kekuasaanya dari Undang-Undang, dan bahkan ada
pula yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden. Hierarki atau ranking
kedudukanya tentu saja tergantung pada derajat pengaturanya menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Lembaga negara yang
diatur dan dibentuk oleh Undang-Undang Dasar merupakan organ konstitusi,
sedangkan yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang merupakan organ
undang-undang, sementara yang hanya dibentuk karena Keputusan Presiden tentunya
lebih rendah lagi tingkatan dan derajat perlakuan hukum terhadap pejabat yang
duduk di dalamnya. Demikian pula jika lembaga dimaksud dibentuk dan diberi
kekuasaan berdasarkan peraturan daerah, tentu lebih rendah lagi tingkatannya.
Karena warisan
sistem lama, harus diakui bahwa di tengah masyarakat kita masih berkembang
pemahamanya yang luas bahwa pengertian lembaga negara dikaitkan dengan
cabang-cabang kekuasaan tradisional legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Lembaga negara dikaitkan dengan pengertian lembaga yang berada di ranah
kekuasaaan legislatif disebut lembaga legislatif, yang berada di ranah eksekutif
disebut lembaga pemerintah, dan yang berada di ranah judikatif disebut sebagai
lembag pengadilan.
Oleh
karena itu, sebelum perubahan UUD1945, biasa dikenal adanya istilah lembaga
pemerintah, lembaga departemen, lembaga pemerintah nondepartemen, lembaga
negara, lembaga tinggi negara, dan lembaga tertinggi negara. Dalam hukum tata
negara biasa dipakai pula istilah yang menunjuk kepada pengertian yang lebih
terbatas, yaitu alat perlengkapan negara yang biasanya dikaitkan dengan
cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudisial.[1]
Salah satu konsekuensi
dari dilakukannya perubahan terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 adalah munculnya beragam penafsiran
mengenai istilah & ldquo;lembaga negara” akibat kekurangjelasan UUD Negara RI Tahun
1945 dalam mengatur lembaga negara. Hal ini dapat terlihat dari tiadanya
kriteria untuk menentukan apakah suatu lembaga dapat diatur atau tidak dalam
konstitusi.
Dari berbagai penafsiran yang ada,
salah satunya adalah penafsiran yang membagi lembaga negara menjadi lembaga negara utama (state main organ) dan lembaga negara bantu (state
auxiliary organ). Lembaga negara utama mengacu kepada paham trias politica yang
memisahkan kekuasaan menjadi tiga poros (eksekutif, legislatif, dan yudikatif).
Dengan
menggunakan pola pikir ini, yang
dapat dikategorikan sebagai lembaga negara utama menurut UUD Negara RI Tahun
1945 adalah MPR, Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA),
Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY). Dengan demikian,
lembaga-lembaga lain yang tidak termasuk kategori tersebut merupakan lembaga
negara bantu.
Setelah
memahami apa itu lembaga negara, dilanjutkan
dengan membahas pengertian lembaga negara bantu dan bagaimana
kedudukanya dalam sistem ketatanegaraan republik indonesia.[2]
B. Pengertian
Lembaga Negara Bantu
Kemunculan lembaga negara yang dalam pelaksanaan
fungsinya tidak secara jelas memosisikan diri sebagai salah satu dari tiga
lembaga trias politica mengalami
perkembangan pada tiga dasawarsa terakhir abad ke-20 di negara-negara yang telah mapan berdemokrasi,. Istilah “lembaga negara bantu” merupakan yang paling umum digunakan oleh para pakar dan sarjana hukum tata negara, walaupun pada kenyataannya terdapat pula yang berpendapat bahwa istilah “lembaga negara penunjang” atau “lembaga negara independen” lebih tepat untuk menyebut jenis lembaga tersebut. M. Laica Marzuki cenderung mempertahankan istilah state auxiliary institutions alih-alih “lembaga negara bantu” untuk menghindari kerancuan dengan lembaga lain yang berkedudukan di bawah lembaga negara konstitusional. Kedudukan lembaga-lembaga ini tidak berada dalam ranah cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Namun, tidak pula lembaga-lembaga tersebut dapat diperlakukan sebagai organisasi swasta ataupun lembaga non-pemerintah yang lebih sering disebut ornop (organisasi non-pemerintah) atau NGO non-governmental organization).
perkembangan pada tiga dasawarsa terakhir abad ke-20 di negara-negara yang telah mapan berdemokrasi,. Istilah “lembaga negara bantu” merupakan yang paling umum digunakan oleh para pakar dan sarjana hukum tata negara, walaupun pada kenyataannya terdapat pula yang berpendapat bahwa istilah “lembaga negara penunjang” atau “lembaga negara independen” lebih tepat untuk menyebut jenis lembaga tersebut. M. Laica Marzuki cenderung mempertahankan istilah state auxiliary institutions alih-alih “lembaga negara bantu” untuk menghindari kerancuan dengan lembaga lain yang berkedudukan di bawah lembaga negara konstitusional. Kedudukan lembaga-lembaga ini tidak berada dalam ranah cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Namun, tidak pula lembaga-lembaga tersebut dapat diperlakukan sebagai organisasi swasta ataupun lembaga non-pemerintah yang lebih sering disebut ornop (organisasi non-pemerintah) atau NGO non-governmental organization).
Lembaga negara bantu ini sekilas memang menyerupai NGO
karena berada di luar struktur pemerintahan eksekutif. Akan tetapi,
keberadaannya yang bersifat publik, sumber pendanaan yang berasal dari publik,
serta bertujuan untuk kepentingan publik, membuatnya tidak dapat disebut
sebagai NGO dalam arti sebenarnya. Sebagian ahli tetap mengelompokkan lembaga
independen semacam ini dalam lingkup kekuasaan
eksekutif, namun terdapat pula beberapa sarjana yang menempatkannya secara tersendiri sebagai cabang keempat dalam kekuasaan pemerintahan. Secara teoritis, lembaga negara bantu bermula dari kehendak negara untuk membuat lembaga negara baru yang pengisian anggotanya diambil dari unsur non-negara, diberi otoritas negara, dan dibiayai oleh negara tanpa harus menjadi pegawai negara. Gagasan lembaga negara bantu sebenarnya berawal dari keinginan negara yang sebelumnya kuat ketika berhadapan dengan masyarakat, rela untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengawasi. Jadi, meskipun negara masih tetap kuat, ia diawasi oleh masyarakat sehingga tercipta akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horizontal. Munculnya lembaga negara bantu dimaksudkan pula untuk menjawab tuntutan masyarakat atas terciptanya prinsip-prinsip demokrasi dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan melalui lembaga yang akuntabel, independen, serta dapat
dipercaya. Selain itu, faktor lain yang memicu terbentuknya lembaga negara bantu adalah terdapatnya kecenderungan dalam teori administrasi kontemporer untuk mengalihkan
tugas-tugas yang bersifat regulatif dan administratif menjadi bagian dari tugas lembaga independen. Berkaitan dengan sifatnya tersebut, John Alder mengklasifikasikan
jenis lembaga ini menjadi dua, yaitu: (1) regulatory, yang berfungsi membuat aturan serta melakukan supervisi terhadap aktivitas hubungan yang bersifat privat; dan (2)
advisory, yang berfungsi memberikan masukan atau nasihat kepada pemerintah.
eksekutif, namun terdapat pula beberapa sarjana yang menempatkannya secara tersendiri sebagai cabang keempat dalam kekuasaan pemerintahan. Secara teoritis, lembaga negara bantu bermula dari kehendak negara untuk membuat lembaga negara baru yang pengisian anggotanya diambil dari unsur non-negara, diberi otoritas negara, dan dibiayai oleh negara tanpa harus menjadi pegawai negara. Gagasan lembaga negara bantu sebenarnya berawal dari keinginan negara yang sebelumnya kuat ketika berhadapan dengan masyarakat, rela untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengawasi. Jadi, meskipun negara masih tetap kuat, ia diawasi oleh masyarakat sehingga tercipta akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horizontal. Munculnya lembaga negara bantu dimaksudkan pula untuk menjawab tuntutan masyarakat atas terciptanya prinsip-prinsip demokrasi dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan melalui lembaga yang akuntabel, independen, serta dapat
dipercaya. Selain itu, faktor lain yang memicu terbentuknya lembaga negara bantu adalah terdapatnya kecenderungan dalam teori administrasi kontemporer untuk mengalihkan
tugas-tugas yang bersifat regulatif dan administratif menjadi bagian dari tugas lembaga independen. Berkaitan dengan sifatnya tersebut, John Alder mengklasifikasikan
jenis lembaga ini menjadi dua, yaitu: (1) regulatory, yang berfungsi membuat aturan serta melakukan supervisi terhadap aktivitas hubungan yang bersifat privat; dan (2)
advisory, yang berfungsi memberikan masukan atau nasihat kepada pemerintah.
Jennings, sebagaimana dikutip Alder dalam Constitutional
and Administrative Law, menyebutkan lima alasan utama yang melatarbelakangi
dibentuknya lembaga negara bantu dalam suatu pemerintahan, alasan-alasan itu
adalah sebagai berikut:
1. Adanya kebutuhan untuk menyediakan pelayanan budaya dan pelayanan
yang bersifat personal yang diharapkan bebas dari risiko campur tangan politik.
2. Adanya keinginan untuk mengatur pasar dengan regulasi yang bersifat
non-politik.
3. Perlunya pengaturan mengenai profesi-profesi yang bersifat
independen, seperti profesi di bidang kedokteran dan hokum.
4. Perlunya pengadaan aturan mengenai pelayanan-pelayanan yang bersifat
teknis.
5. Munculnya berbagai institusi yang bersifat semiyudisial dan
berfungsi untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan (alternative dispute
resolution/
alternatif penyelesaian sengketa)[3]
alternatif penyelesaian sengketa)[3]
C. Kedudukan KPK Sebagai Lembaga Negara Bantu Dalam Sistem Ketatanegaraan
Republik Indonesia
Salah satu
hasil dari Perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD Negara RI Tahun 1945) adalah beralihnya supremasi Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) menjadi supremasi konstitusi. Akibatnya sejak masa reformasi, Indonesia tidak
lagi menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara sehingga semua lembaga
negara sederajat kedudukannya dalam sistem checks and balances. Hal ini merupakan
konsekuensi dari supremasi konstitusi, dimana konstitusi diposisikan sebagai
hukum tertinggi yang mengatur dan membatasi kekuasaan lembaga-lembaga penyelenggara negara[4]
Perkembangan
konsep trias politica juga turut memengaruhi perubahan struktur
kelembagaan di Indonesia. Di banyak negara, konsep klasik mengenai pemisahan
kekuasaan tersebut dianggap tidak lagi relevan karena tiga fungsi kekuasaan
yang ada tidak mampu menanggung beban negara dalam menyelenggarakan
pemerintahan. Untuk menjawab tuntutan tersebut, negara membentuk jenis lembaga
negara baru yang diharapkan dapat lebih responsif dalam mengatasi persoalan
aktual negara. Maka, berdirilah berbagai lembaga negara bantu dalam bentuk
dewan, komisi, komite, badan, ataupun otorita, dengan masing-masing tugas dan
wewenangnya. Beberapa ahli tetap mengelompokkan lembaga negara bantu dalam
lingkup eksekutif, namun ada pula sarjana yang menempatkannya tersendiri
sebagai cabang keempat kekuasaan pemerintahan.
Dalam
konteks Indonesia, kehadiran lembaga negara bantu menjamur pascaperubahan UUD
Negara RI Tahun 1945. Berbagai lembaga negara bantu tersebut tidak dibentuk
dengan dasar hukum yang seragam. Beberapa di antaranya berdiri atas amanat
konstitusi, namun ada pula yang memperoleh legitimasi berdasarkan undang-undang
ataupun keputusan presiden. Salah satu
lembaga negara bantu yang dibentuk dengan undang-undang adalah Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Walaupun bersifat independen dan bebas dari
kekuasaan manapun, KPK tetap bergantung kepada kekuasaan eksekutif dalam kaitan
dengan masalah keorganisasian, dan memiliki hubungan khusus dengan kekuasaan
yudikatif dalam hal penuntutan dan persidangan perkara tindak pidana korupsi.
Kedepannya,
kedudukan lembaga negara bantu seperti KPK membutuhkan legitimasi hukum yang
lebih kuat dan lebih tegas serta dukungan yang lebih besar dari masyarakat.[5]
Lembaga ini juga
dibentuk sebagai salah satu bagian agenda pemberantasan korupsi yang merupakan salah satu agenda
terpenting dalam pembenahan tata pemerintahan di Indonesia. Dengan demikian,
kedudukan lembaga negara bantu dalam sistem ketatanegaraan yang dianut negara
Indonesia masih menarik untuk diperbincangkan.[6]
komisi pemberantasan korupsi ini dibentuk berdasarkan
Undang-Uundang No. 30 tahun 2002 tentang komisi
pemberantasan tindak pidana korupsi pasal 1
undang-undang ini menentukan bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi
merupakan serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana
korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan,
penyedikian, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dengan peran
serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tindak
pidana korupsi itu sendiriri adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan korupsi sebagaimana telah di ubah dengan
Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang no 31 tahun 1999
tentang pemberantsan tindak pidana korupsi. Setiap penyelenggara negara sperti yang dimaksud
dalam Undang-Undang No 28 tahun 1999 tentang penyelanggara negara yang bersih
dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme diharapkan dapat di bebaskan dari
segala bentuk perbuatan yang tidak terpuji ini, sehingga terbentuk aparat dan
aparatur penyelenggara negara yang benar benar bersih dan bebas dari korupsi,
kolusi dan nepotisme. Dengan Undang-Undang No.32 tahun 2002 ini, nam komisi pemberantasan
tindak pidana korupsi selanjutnya disebut komisi pemberantasan korupsi (KPK)
status hokum komisi ini secara tegas ditentukn sebagai lembaga negara yang dalam
melaksnakan tugas dan wewenaganya bersifat independen dan bebas dari pengaruh
kekuasaan manapun pembentukan komisi ini bertujuan untuk meningkatkan daya guna dan
hasil guna upaya pemberantsan tindak pidana korupsi yang
sudah berjalan sejak sebelumnya. Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya itu,
komisi bekerja berdasarkan asas-asas (a) kepastian hukum, (b) ketrbukaan , (c)
akuntabilitas, (d) kepentingan umum, dan (e) proporsionalitas.
Komisi Pemberantasan Korupsi
berkedudukan di ibukota di Negara Republik Indonesia dan wilayah kerjanya
meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Karena luasnya cakupan dan
jan jangkauan tugas dan kewenanganya itu, maka ditentukan pula bahwa Komisi
Pemberantasan Korupsi dapat membentuk perwakilan di daerah-daerah provinsi di
seluruh indonesia. Dalam menjalankan atau melaksanakan
tugas dan wewenangnya, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)
bertanggung jawab kepada publik atsa pelaksanaan tugasnya dan menyampaikan
laporanya secara terbuka dan berkala kepada presiden, dewan perwakilan rakyat
(DPR) dan badan pemeriksa keuangan (BPK). Pertanggungjawaban publik yang
dimaksud itu dilaksanakan dengan cara (a) wajib audit terhadap kinerja dan
pertanggung jawaban keuangan sesuai dengan program kerjanya, (b) menerbitkan
laporan tahunan, dan (c) membuka akses informasi.[7]
BAB III
ANALISIS
Mengenai kedudukan lembaga negara
bantu kususnya komisi pemberantassan korupsi adalah
lembaga negara yang bersifat independen dan berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman tetapi tidak berada di bawah kekuasaan kehakiman. Dalam hal ini juga
di tegaskan terkait status keberadaan sebuah lembaga negara, Mahkamah
Konstitusi menyatakan bahwa dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, instilah
“lembaga negara” tidak selalu dimasukkan sebagai lembaga negara yang hanya
disebutkan dalam Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 saja, atau yang
dibentuk berdasarkan perintah konstitusi, tetapi juga ada lembaga negara lain
yang dibentuk dengan dasar perintah dari peraturan di bawah konstitusi, seperti
Undang-Undang dan bahkan Keputusan Presiden (Keppres). Sedangkan, ada yang
berpendapat bahwa keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi adalah ekstra
konstitusional adalah keliru. Karena, keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) secara tegas diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai bentuk politik hukum pemberantasan
korupsi di tanah air. Dengan demikian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
sebagai lembaga pemberantas korupsi yang kuat bukan berada di luar sistem
ketatanegaraan, tetapi justru ditempatkan secara yuridis di dalam sistem
ketatanegaraan yang rangka dasarnya sudah ada di dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dan juga bahwa Kedudukan Organ lapis
kedua dapat disebut lembaga negara saja. Ada yang mendapat kewenangannya dari
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, misalnya adalah
Komisi Yudisial, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara; sedangkan
lembaga yang sumber kewenanganya adalah undang-undang, misalnya, adalah Komnas HAM, Komisi Penyiaran Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi
dan Sebagainya. Kedudukan kedua jenis lembaga negara tersebut dapat
disebandingkan satu sama lain. Hanya saja, kedudukannya meskipun tidak lebih
tinggi, tetapi jauh lebih kuat. Keberadaannya disebutkan secara emplisit dalam
undang-undang, sehingga tidak dapat ditiadakan atau dibubarkan hanya karena
kebijakan pembentuk undang – undang.
Kemudian langkah pemberantasan korupsi sudah
sejak lama dilakukan oleh pemerintah negara ini. Bahkan, sejarah mencatat bahwa
Indonesia adalah negara pertama di Asia yang mencanangkan suatu peraturan
khusus mengenai pemberantasan korupsi. Penguasa Perang Pusat Kepala Staf
Angkatan Darat yang saat itu dijabat Jenderal A.H. Nasution menerbitkan
Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat tanggal 16 April
1958 Nomor Prt/Peperpu/C13/1958 untuk memberantas korupsi yang gejalanya mulai
tampak pada tahun tersebut. Selanjutnya, seiring pergantian masa pemerintahan, peraturan mengenai
pemberantasan korupsi terus diperbaiki dengan pembentukan undang-undang, mulai
dari Undang- undang Nomor 24 (Prp) Tahun 1960,29 Undang-undang Nomor 3 Tahun
1971, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, hingga yang terakhir Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001. Peraturan yang terus dikembangkan tidak lantas menjadikan
upaya pemberantasan korupsi semakin mudah dilaksanakan. Justru sebaliknya,
bentuk kejahatan ini meluas, tidak hanya di kalangan aparat negara, tetapi juga
merambah di sektor swasta. Korupsi benar-benar telah mengakar dalam kebiasaan
masyarakat. Perbuatan yang dahulu dianggap delik umum pun kini digolongkan
sebagai tindak pidana korupsi sehingga menjadikan definisi korupsi meluas.
Perbuatan yang dahulu dikategorikan sebagai delik umum dan diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), seperti penyuapan misalnya, kini dimasukkan
dalam ruang lingkup delik khusus dan diatur dalam peraturan mengenai tindak
pidana korupsi. Bahkan, Pasal 2 ayat (1) Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang- undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang- undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa
perbuatan yang secara formil tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan
dapat dipidana apabila dianggap tidak sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat.
Sebagai langkah preventif sekaligus represif dalam memberantas korupsi yang
saat ini dianggap extraordinary crime atau kejahatan luar biasa, pada tahun
2002 didirikanlah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Undang- undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan: Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga
negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh
kekuasaan manapun. Kebutuhan akan adanya KPK dilatarbelakangi rendahnya
kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara yang seharusnya mengurusi
masalah korupsi. Lembaga peradilan yang diharapkan dapat menegakkan hukum
justru dinilai ikut menyuburkan perilaku korupsi. Mafia peradilan atau judicial
corruption telah menjadi momok baru bagi dunia peradilan tanah air.
Masyarakat yang semakin berkembang ternyata menghendaki
negara memiliki struktur organisasi yang lebih responsif terhadap tuntutan
mereka. Sebagai jawaban atas tuntutan perkembangan tersebut, berdirilah
lembaga-lembaga negara baru yang berupa dewan, komisi, komite, badan atau
otorita. Salah satu lembaga negara bantu yang dibentuk pada era reformasi
adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Permasalahan yang diangkat adalah
apa kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia dan bagaimana pengaturan, fungsi, tugas dan wewenang Komisi
pemberantasan Korupsi ( KPK ) agar tidak berbenturan dengan lembaga lain.
Metode penelitian yang dilakukan adalah metode yuridis normatif dan juga
sosiologis. Berdasarkan penelitian tersebut kedudukan Komisi Pemberantasan
Korupsi adalah sebagai lembaga negara bantu yang independen. Keberadaan KPK
dengan segala tugas dan wewenangnya, tidak berbenturan dengan Kepolisian dan
Kejaksaan dalam melakukan tugas dan wewenangnya dalam pemberantasan tindak
pidana korupsi. Lembaga Kepolisian, Kejaksaan dan KPK diharapkan dapat bekerja
sama demi memberantas tindak pidana korupsi.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan mengenai Analisis Kedudukan Komisi
Pemberantasan Korupsi Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia dapat
disimpulkan bahwa kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah
lembaga negara yang bersifat independen dan berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman tetapi tidak berada di bawah kekuasaan kehakiman. Dalam hal ini juga di
tegaskan terkait status keberadaan sebuah lembaga negara, Mahkamah
Konstitusi menyatakan bahwa dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia, instilah “lembaga negara” tidak selalu
dimasukkan sebagai lembaga negara yang hanya disebutkan dalam Undang - Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 saja, atau yang dibentuk berdasarkan perintah
konstitusi, tetapi juga ada lembaga negara lain yang dibentuk dengan
dasar perintah dari peraturan di bawah konstitusi, seperti Undang Undang dan
bahkan Keputusan Presiden (Keppres). Sedangkan, ada yang berpendapat bahwa keberadaan
Komisi Pemberantasan Korupsi adalah ekstra konstitusional adalah keliru. Karena,
keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara tegas diatur dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
sebagai bentuk politik hukum pemberantasan korupsi di tanah air. Dengan
demikian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga pemberantas korupsi
yang kuat bukan berada di luar sistem ketatanegaraan, tetapi justru ditempatkan
secara yuridis di dalam sistem ketatanegaraan yang rangka dasarnya sudah ada di
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Daftar Pustaka
Jimly asshiddiqie,
Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Refor masi,Sinar Grafika, (Jakarta Timur, Mei 2010),
Jimly Asshiddiqie (a), Pengantar Ilmu Hukum
Tata Negara Jilid I (Jakarta: Konstitusi Press, 2006),
[1] Jimly asshiddiqie,
Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sinar Grafika, (Jakarta
Timur, Mei 2010), Hlm 37
[4]Jimly Asshiddiqie (a),
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I (Jakarta: Konstitusi Press, 2006),
hal. 2-3
[7] Ibid Jimly asshiddiqie,
Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sinar Grafika, (Jakarta
Timur, Mei 2010), Hlm 193-196