BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Hukum
agraria didalamnya memuat berbagai macam hak penguasaan atas tanah. Beberapa
hal penting yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah
penetapan tentang kepemilikan hak atas penguasaan tanah dan wewenang, larangan,
dan kewajiban bagi pemegang hak untuk memanfaatkan dan menggunakan tanah yang
telah dimilikinya tersebut.
Beberapa
pasal penting dalam hukum agraria yang berlandaskan Undang-Undang Pokok Agraria
atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 adalah tentang Hak Milik, Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa Bangunan,
Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan,
Hak Guna Air, Hak Guna Ruang
Angkasa, Hak Tanah untuk Keperluan Sosial.
Tanah
bagi kehidupan mengandung makna yang penting. Karena
makna yang penting tersebut ada
kecenderungan, bahwa orang yang memiliki tanah akan mempertahankan tanahnya
dengan cara apapun bila hak-haknya dilanggar. Arti penting tanah bagi manusia
sebagai individu maupun negara sebagai organisasi masyarakat yang tertinggi,
secara konstitusi diatur dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang
menyatakan bahwa : “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya,
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat”.
Penguasaan
tanah di Indonesia sampai saat ini dibalut kekhawatiran dari
semua pihak, baik dari masyarakat, swasta,
maupun instansi pemerintah. Hal ini dikarenakan legalisasi atas hak atas tanah
menimbulkan banyak permasalahan hukum. Salah satu penyebabnya adalah karena
masih terjadi benturan konsep penguasaan tanah secara hukum adat dengan konsep
penguasaan tanah berdasarkan peraturan perundang-undangan positif yang berlaku.
[[1]]
Sehubungan
dengan itu hak menguasai negara dan hak penguasaan tanah menurut hukum adat
(hak ulayat) perlu mendapatkan legalisasi, sehingga hak-hak atas tanah yang
timbul atas dasar hak menguasai negara dan hak ulayat, yang diberikan kepada
Warga Negara dan Badan Hukum Indonesia dalam bentuk Hak Milik, Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan, dan lain-lain perlu didaftarkan untuk
mendapatkan jaminan kepastian hukum. [2]
Konsep penguasaan tanah berdasarkan hukum
adat adalah tanah merupakan milik komunal atau persekutuan hukum (beschikkingsrecht).
Setiap anggota persekutuan dapat mengerjakan tanah dengan jalan membuka tanah
terlebih dahulu dan jika mereka mengerjakan secara terus menerus, maka tanah
tersebut dapat menjadi Hak Milik secara individual. [3]
Permasalahan
pertanahan juga sering timbul karena tanah yang sudah diterbitkan sebagai bukti
kepemilikan hak atas tanah tidak diusahakan oleh pemiliknya secara maksimal
bahkan diterlantarkan dalam waktu yang lama, sehingga mengundang pihak-pihak
lain untuk mengelola dan memanfaatkan tanah tersebut secara liar ataupun secara
tidak sah, yang pada gilirannya akan menimbulkan konflik
pertanahan yang penyelesaiannya sangat
rumit. Padahal dalam Pasal 15 Undang Undang Pokok Agraria secara tegas
disebutkan memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah
kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, Badan Hukum atau instansi yang
mempunyai hubungan hukum dengan tanah
itu, dengan memperhatikan pihak yang
ekonomis lemah.
Dengan kata lain, kunci utama penyelesaian
konflik pemilikan tanah ada pada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia harus secara tegas yang berkaitan
dengan surat-surat tanah yang menjamin kepastian hukum, baik kepastian mengenai
subyek maupun obyeknya. Pemberian jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan,
sebagaimana halnya dibidang-bidang yang lain, pertama-tama memerlukan
tersedianya perangkat hukum yang tertulis, lengkap dan jelas serta dilaksanakan
secara konsisten, sesuai dengan
jiwa
dan isi ketentuan-ketentuannya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah hukum adat?
2. Apa pengertian hukum adat?
3. Kenapa
Bisa Terjadi Sengketa Tanah Hak Ulayat di Provinsi Sumatera Barat?
4.
Bagaimana Cara Menyelesaikan Konflik Tersebut?
1.3 Tujuan Pembahasan
Adapun
tujuan dari penulisan mengenai masalah sengketa tanah hak ulayat ini adalah
untuk memberi kejelasan mengenai sengketa tersebut dan mengaitkannya dengan
peran pekerja sosial dalam menghadapi masalah ini.
Penulisan
masalah sengketa tanah hak ulayat ini dapat dimanfaatkan sebagai penambahan
informasi mengenai sengketa tanah dan peranan pekerja sosial apa saja yang
dapat dilakukan di dalam menangani klien yang mengalami kasus ini.
1.4 Metode yang Digunakan dalam Mengangkat Isu Masalah
Metode yang digunakan dalam
pengangkatan masalah ini adalah pengumpulan teori-teori dan fakta-fakta
melalui pencarian buku-buku di perpustakaan dan juga berita-berita seputar
sengketa tanah di internet.
Subjek
dalam pembahasan masalah ini adalah beberapa daerah di pedesaan di Provinsi
Sumatera Barat, sedangkan objeknya yaitu tanah serta penyebab sengketa itu
sendiri.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah
Hukum Adat
Keberadaan Bangsa Indonesia saat ini, tentu
tidak dapat dipisahkan dari keberadaan Bangsa Indonesia pada masa lampau.
Kebesaran bangsa Indonesia saat ini sebenarnya telah dapat terlihat sejak masa
lampau. Dimulai dari masuknya agama Hindhu ke Bumi Nusantara, menjadikan agama
Hindhu adalah agama yang pertama kali dianut oleh bumiputera. Hingga saat ini,
kebudayaan Hindhu sedikit banyak masih mempengaruhi kehidupan masyarakat
Indonesia, sekalipun dia bukan beragama Hindhu. Misalnya, dalam agama Hindhu,
cara beribadahnya pada umumnya dengan membakar dupa yang konon baunya dupa
tersebut dapat mengantarkan doa yang di panjatkan kepada Shang Yang Jagad Dewa
Batara. Saat ini kita melihat bagaimana seorang muslim, di daerah Jawa
khususnya, dalam berdoa terkadang juga dengan membakar dupa atau menyan.
Sehingga dikenal dengan istilah Islam Kejawen. Berikut ini adalah masa-masa
kerajaan yang pernah berkuasa di Bumi Nusantara: [4]
Zaman Hindu
Terkenal juga dengan istilah Zaman
Melayu Polinesia, terjadi pada Th.1500 SM – 3000 SM. Pada masa ini terjadi
perpindahan penduduk dari daratan Asia menuju Indonesia. Dimana perpindahan
penduduk ini terbagi menjadi dua gelombang. Gelombang I dikenal dengan
gelombang Proto Malaio (Melayu Tua). Pada masa ini perilaku budaya
masyarakatnya masih sangat dipengaruhi kesaktian. Hingga saat ini, masalah
Magis Religius masih kental berada di kalangan masyarakat Indonesia, seperti
santet, pelet, ngepet dan sejenisnya.
4. http://hkm204.blog.esaunggul.ac.id/2012/10/19/sejarah-hukum-adat/
diakses 16 Maret 2013
|
Gelombang II dikenal dengan
gelombang Deutoro Malaio (Melayu Muda). Pada masa ini perilaku budaya
masyarakatnya dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Kong Hu Cu.
1. Zaman Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya berpusat di Palembang,
kerajaan ini hidup di Abad VII s.d. Abad XIII. Keberadaan Kerajaan Sriwijaya
diketahui dari Prasasti – prasasti, seperti:
1) Prasasti Raja Sanjaya (732M) yang isinya menceritakan
tentang Agama yang dianut masyarakat pada masa itu, kegiatan perekonomian pada
masa itu, dan kegiatan pertambangan rakyat pada masa itu.
2) Prasasti Raja Dewasimha (760M) yang isinya
menceritakan tentang Agama dan Kekaryaan masyarakat kerajaan Sriwijaya pada
masa itu.
3) Prasasti Raja Tulodong (784M) yang isinya menceritakan
tentang masalah-masalah pertanahan dan Pengairan.
4) Prasasti Bulai dari Rakai Garung (860M) yang isinya
menceritakan tentang Perkara Perdata.
2. Zaman Mataram I
Kerajaan Mataram dapat diketahui keberadaannya
dari Prasasti Guntur (907 M) yang isinya tentang Peradilan oleh Hakim Pu Gawel
mengenai keputusan tentang Hutang Keluarga. Putusannya dikenal dengan nama
Javapatra. Lalu dari Prasasti Raja Mpu Sindok (927 M) yang menceritakan tentang
Hutang Piutang dan Waris. Dan juga ada Prasasti Raja Dharmawangsa (991 M) yang
isinya tentang Perintah Pembuatan Kitab Perundang-undangan Purwadigama
(Syiwasyana) dan penerjemahan Mahabharata.
3. Zaman Majapahit
Selama kekuasaan Hayam Wuruk dan Gajah Mada
dalam syair “Negara Kertagama” terlihat peraturan hukum tentang:
- Pemerintahan Umum seperti masalah Pertanahan, Pajak, Wajib Militer, Tentara dan Kepolisian.
- Kehakiman dan Peradilan.
Dikenal adanya Kutaramanawa (Kitab Undang-Undang) dan Jaksa Penuntut
Umum / Astapada dalam Perkara Pidana. Dimana Mahapatih Gajah Mada berperan
sebagai Astapada.
1. Politik Luar Negeri.
Pada masa kerajaan Majapahit, Indonesia saat itu telah memiliki
negara-negara sahabat seperti Siam, Birma, Campa, Kamboja, India & China.
Wilayah Majapahit pada masa itu adalah Indonesia dan Malaysia yang sekarang.
Zaman Islam
1.
Zaman Kerajaan Aceh Darussalam
Pada akhir abad XII, Islam masuk ke Indonesia
dari daerah Aceh (Kesultanan Perlak, Samudra Pasai, Aceh Darussalam). Sehingga
hingga saat ini Aceh terkenal dengan istilah SERAMBI MEKAH, karena dari Aceh
inilah ajaran agama Islam disalurkan dari Mekah ke Indonesia. Dari empat Mazhab
yang dikenal dalam Islam (Mazhab Syafei, Hambali, Maliki dan Suni), Hukum yang
berlaku adalah Hukum Islam berdasarkan ajaran Imam Syafei, dan Hukum Adat
yang berlaku adalah hukum adat yang bersendikan pada Hukum Islam.
Pada masa ini Kerajaan Aceh telah memiliki mata
uang, angkatan darat yang diperkuat pasukan Gajah dan angkatan laut yang
dilengkapi bedil & meriam. Ada juga tentara wanita. Dan untuk memperkuat
angkatan perangnya, maka Kerajaan ini memiliki pabrik senjata sendiri.
Indonesia pada masa ini telah pula melakukan
hubungan diplomatik dengan menerima dan melayani duta negara asing. Di bidang
ekonomi ada industri kecil, kerajinan, pertambangan, bea-cukai. Pada masa ini
Ilmu pengetahuan & agama Islam berkembang pesat. Pada masa ini pula Hak
wanita & pria sama dalam rumah tangga, harta, perdagangan serta olah raga.
Dikenal pula adanya Kitab Hukum Acara Pidana
atau Perdata yang dikenal dengan Kitab “Safinatul Hukkam fi Takhlisul Khassam”
(artinya: Bahtera bagi semua hakim dalam menyelesaikan orang-orang yang
berperkara). Terdiri dari:
BAB I = tentang Hukum Perdagangan & Penyelesaian Perkara
Perniagaan.
BAB II = tentang Hukum Keluarga, Perkawinan & Perceraian.
BAB III = tentang Hukum Pidana, ancaman hukuman
BAB IV = tentang Kewarisan.
2. Zaman Demak
Sekitar abad XV Demak masih dibawah kekuasaan Majapahit Menurut Babad Tanah
Jawi (ditulis pd th.1625 & 1633), R. Patah, putra Raja Brawijaya,
menundukkan Majapahit th.1478 & mendirikan Bintara Demak yang kerajaannya
berpusat di Masjid Demak. Urusan pemerintahan & hukum berdasarkan Hukum
Islam, namun dalam pelaksanaan peradilan masih dipengaruhi sistem yang berlaku
di zaman Majapahit.
3. Zaman Mataram II
Pada masa ini Sultan yang berpengaruh adalah Mas Rangsang yang bergelar
Panembahan Agung Senopati Ing Alogo Ngabdurahman (Sultan Agung). Sultan juga
merubah tahun Cakra menjadi Tarikh Islam Jawa & Sistem Peradilan Serambi.
4. Zaman Cirebon & Banten
Pada masa ini dikenal Sistem Peradilan yang lebih baik daripada
kerajaan-kerajaan sebelumnya. Yaitu dengan adanya tiga peradilan dengan tugas
dan tanggung jawab yang berbeda. Adapun ketiga peradilan tersebut adalah:
1) Peradilan Agama
Tugas dan tanggungjawabnya adalah memeriksa perkara yang dapat dijatuhi
hukuman badan / hukuman mati karena sifat kejahatannya membahayakan negara,
mengurus perkara perkawinan, perceraian & pewarisan. Hukum yg digunakan adl
Hukum Islam & pendapat para ahli agama.
2) Peradilan Drigama
Tugas dan tanggung jawabnya mengadili perkara-perkara pelanggaran adat yang
diadili berdasarkan hukum adat jawa kuno dengan memperhatikan hukum adat yang
berlaku setempat.
3) Peradilan Cilaga
Tugas dan tanggung jawabnya memeriksa & mengadili perkara-perkara yang
menyangkut perselisihan perekonomian atau perdagangan. Menggunakan sistem wasit
/ penengah.
Masyarakat adat pada masa ini menuntut bahwa hakim harus memiliki
sifat-sifat alam seperti:
- Sifat Chandra (bulan), sebagaimana layaknya bulan yang menerangi kegelapan, hakim pun dituntut untuk dapat memberikan pencerahan bagi mereka yang jiwanya tersesat, sehingga melakukan penyimpangan dengan melakukan tindakan kriminal.
- Sifat Tirta(air), sebagaimana layaknya air yang membersihkan, maka hakim pun dituntut untuk dapat membersihkan masyarakat dari sampah masyarakat.
- Sifat Cakra(dewa), masyarakat adat menganggap bahwa hakim merupakan wakil Tuhan atau Dewa, karena kekuasaan hakim yang dapat memberikan hukuman mati sekalipun.
- Sifat Sari (harum), masyarakat adat menganggap bahwa hakim harus menjaga perilakunya, janganlah kemudian ada Hakim Yang Mulia tetapi melakukan perbuatan yang tidak mulia, seperti mencuri, bermain wanita, berjudi.
Zaman Kolonial Belanda
Pada masa kolonial Hukum Adat dibiarkan seperti
sediakala. Hukum yg dipakai dlm pelaksanaan peradilan kejahatan dipakai
acuannya adalah Hukum Adat setempat, apabila di pandang baik. Dasar berlakunya
Hukum Adat bagi gol. Pribumi & Timur Asing adalah Pasal 11 AB. Hukum Adat
pernah hendak di unifikasi karena ada Asas Konkordansi, tetapi akhirnya yang
terjadi tetap dualisme atau pluralisme hukum.
Zaman Kemerdekaan
Keberadaan masyarakat adat dengan Hukum Adatnya
diakui sebagai Hukum Indonesia Asli yang tidak tertulis yang disana-sini
mengandung unsur agama. Kodifikasi & Unifikasi hukum dengan menggunakan
bahan-bahan dari Hukum Adat dibatasi pada bidang-bidang dan hal-hal yang sudah
mungkin dilaksanakan.
Peraturan adat istiadat kita ini pada
hakikatnya sudah terdapat pada zaman kuno, zaman Pra-Hindhu. Lambat laun
datanglah kultur Islam dan kultur Kristen yang masing-masing mempengaruhi
kultur asli tersebut. Kini hukum Adat yang hidup pada rakyat adalah merupakan
hasil akulturasi antara peraturan-peraturan adat-istiadat jaman pra-Hindu
dengan peraturan-peraturan kultur Islam dan kultur Kristen. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa di Indonesia berlaku pluralisme hukum. Teori-teori yang
berkembang karena adanya pluralisme hukum tersebut adalah:
Teori Receptio
in Complexu (van den Berg)
“Hukum suatu golongan masyarakat itu merupakan resepsi / penerimaan secara
bulat dari agama yang dianut oleh golongan tersebut.”
Teori Receptio
(oleh Snouck Hurgronye)
“Hukum agama belum merupakan hukum jika belum diterima oleh Hukum Adat.”
Teori Receptio A Contrario
Teori ini dikembangkan oleh penulis Islam, dikatakan bahwa “Hukum Adat
hanya dapat berlaku dan dilaksanakan dalam pergaulan hidup masyarakat jika
hukum adat itu tidak bertentangan dengan hukum Islam”.
2.2 Pengertian Hukum Adat
Dalam memahami tentang hukum, selalu
diawali dengan memahami tentang kaidah, yaiut sebagai suatu pola tingkah laku
tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh seseorang dalam pergaulan
kemasyarakatan. Tingkah laku anggota masyarakat dalam kehidupannya sehari-hari
melakukan hubungan-hubungan kepentingan, dalam rangka mencakupi kebutuhan
hidupnya apabila diamati, terlihat adanya suatu pola tingkah laku yang dipakai
sebagai pedoman. Itulah yang dikenal sebagai kaidah sosial. Orang mentaati
suatu kaidah sosial, bisa disebabkan karena: [5]
1. Orang menyadari bahwa apa yang tersirat di dalam kaidah adalah merupakan
suatu hal yang sebaiknya di lakukan oleh orang dalam pergaulan hidupnya, dan
mereka sadar apabila tidak menuruti seperti apa yang tersirat dalam kaidah
tersebut, akan merugikan orang lain, adat secara tidak langsung akan merugikan
dirinya sendiri (kesadaran hukum zoon politicon)
1.
Apabila orang tidak mentaati
kaidah, orang takut atau khawatir adanya suatu akibat/ sanksi yang akan di
deritanya. Dalam hal ini sanksi ada 2 macam:
a.
Sanksi moral atau sanksi
sosial, yaitu sanksi yang dirasakan oleh dirinya
sendiri (hati nurani) dan yang bersifat psikis kemasyarakatan, seperti:
dikucilkan dalam pergaulan atau dinilai amoral.
b.
Sanksi hukm, yang sanksi yang diancamkan oleh suatu kaidah terhadap orang yang
tidak mentaati kaidah, dan sanksi ini akan menimbulkan penderitaan badaniah,
tersiksa atau tersitanya kebebasannya (dipenjara).
5. Trusto Subekti, Hukum Adat, Purwokerto: Universitas Jenderal
Soedirman, hlm 17-18
|
Tiap-tiap kaidah itu akan saling
mengadakan pendekatan, pengumpulan dalam suatu kemiripan jenis dilihat dari
tujuan yang tersirat dalam kaidah tersebut, maka terjadilah lembaga sosial
(pranata sosial). Lembaga sosial ini bila diamati adalah merupakan rangkaian
kaidah yang merupakan kesatuan dalam kebutuhan manusia yang diwujudkan dalam
aktivitasnya. Menurt H. E Barnes, lembaga sosial adalah suatu keteraturan
(tata) atau suatu sistem dimana orang saling mengorganisasikan dirinya untuk
mengadakan pengaturan dan melaksanakan aktivitasnya guna mencukupi kebutuhan hidupnya, lembaga sosial memiliki
fungsi untuk mengendalikan masyarakat, supaya keadaan masyarakat dapat
dikendalikan (sosial kontrol). Fungsi utama dari lembaga sosial ini, adalah :
1.
Memberikan pedoman pada anggota
masyarakat bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap di dalam
mengahadapi masalah-masalah dalam masyarakat yang terutama menyangkut
kebutuhan-kebutuhan yang bersangkutan.
2.
Menjaga keutuhan dari masyarakat
yang bersangkutan.
3.
Memberikan pedoman kepada
masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial, yaitu sistem pengawasan
dari masyarakat terhadap tingkah laku anggota-anggotanya.
Perwujudan dari lembaga sosial ini
dikenal sebagai hukum. Dalam hal ini esensi dari hukum adalah mengatur tingkah
laku manusia dalam pergaulan hidupnya, dan dilihat dari asal serta tempat
ditemukannya hukum secara ektrim dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :
1.
Hukum tertulis.
2.
Hukum tidak tertulis
Menurut supomo, hukum tertulis
diartikan sebagai hukum yang dibuat melalui prosedur dan teknis pembuatan
peraturan perundang-undangan, dengan demikian sebaliknya Hukum tidak tertulis
adalah hukum yang tidak dibuat melalui prosedur dan teknis pembuatan peraturan
perundang-undangan. Jadi hukum tidak tertulis merupakan hukum yang tumbuh
sebagai kebiasaan masyarakat, sebagai kebiasan masyarakat, sebagai hukum yang
hidup, tumbah, berkembang dan dipertahankan serta mati di dalam di dalam
masyarakat itu sendiri. Sehubungan dengan itu dapat disimpulkan bahwa hukum
tertulis adalah hukum perundang-undangan, dan Hukum tidak tertulis adalah hukum
kebiasaan, hukum yang hidup atau hukum adat itu sendiri.
Mengenai
Hukum Adat sebagai hukum kebiasaan, hukum yang berlaku bagi masyarakat Indonesia
asli (bumi putera), sebetulnya apabila kita menelusuri lagi ke belakang,
sebetulnya pada awalnya tidak ada yang memahami atau mengenal hukum Adat itu;
baik itu orang Belanda yang pada dasarnya adalah pendatang di Indonesia, juga
orang Indonesia sendiri (kita-kita ini)
yang memiliki Hukum Adat tetapi merasa tidak memiliki atau mengenal Hukum Adat.
Bahkan kepada masyarakat kita apabila ditanya mengenai hukum maka jawabannya
akan menyebut HukumAgama (Islam) atau hukum undang-undang, dan apabila ditanya
tentang kebiasaanya barulah mereka menjelaskan tentang apa yang oleh akademisi
sebagai Hukum Adat.
Pengertian Hukum Adat
Menurut Para Ahli
1.
Van Vollenhoven menjelaskan
bahwa hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang disatu
pihak mempunyai sanksi (oleh karena itu disebut hukum) dan dipihak lain dalam
keadaan tidak dikodifikasi (oleh karena itu disebut adat)
2.
Supomo & Hazairin mengambil
kesimpulan bahwa hukum adat adalah hukum yang mengatur tingkah laku manusia
Indonesia dalam hubungan satu sama lain, baik yang merupakan keseluruhan
kelaziman, kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup di masyarakat adat
karena dianut dan dipertahankan oleh anggot-anggota masyarakat itu, maupun yang
merupakan keseluruhan peraturan yang mengenal sanksi atas pelanggaran dan yang
ditetapkan dalam keputusan-keputusan para penguasa (mereka yang mempunyai
kewibawaan dan berkuasa memberi keputusan dalam masyarakat adat itu) yaitu
lurah, penghulu, pembantu lurah, wali tanah, kepala adat, hakim.
3.
Bushar Muhammad menjelaskan
bahwa untuk memberi definisi hukum adat sulit sekali karena, hukum adat masih
dalam pertumbuhan; sifat dan pembawaan hukum adat ialah:
-
Tertulis atau tidak tertulis
-
Pasti atau tidak pasti
-
Hukum raja atau hukum rakyat
dan sebagainya.
4.
Soekanto hukum adat adalah
kompleks adat-adat yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikandan
bersifat paksaan, mempunyai sanksi jadi mempunyai akibat hukum.
5.
Mr. J.H.P. Bellefroid dalam
bukunya “Inleading tot de rechtwetenschap in Nederland” memberi pengertian
hukum adat sebagai peraturan hidup yang meskipun tidak diundangkan oleh
penguasa tetapi dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan keyakinan bahwa
peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai hukum.
Prof. M.M.
Djojodigoeno S.H. dalam buku beliau “Azas-azas Hukum Adat” memberi definisi
sebagai berikut “Hukum Adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada
peraturan-peraturan”
6.
Ketentuan hasil seminar Hukum
Adat di Yogyakarta tahun 1975 tentang definisi hukum adat adalah sebagai
berikut: hukum adat adalah hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam
perundang-undangan RI dan disana-sini mengandung unsur agama. Keduduan hukum
adat sebagai salah satu sumber penting untuk memproleh bahan-bahan bagi
pembangunan hukum nasional yang menuju pada unifikasi hukum (penyamaan hukum) [6]
2.3 Sengketa
Tanah Hak Ulayat di Provinsi Sumatera Barat
Provinsi
Sumatera Barat telah melahirkan Perda No. 16 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat
dan Pemanfaatannya yang merupakan suatu kejelasan atas pengakuan pemerintah
atas hukum adat sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum di Provinsi Sumatera
Barat.
Pola
kepemilikan tanah di Minangkabau tidak bersifat individual, melainkan milik
komunal yaitu milik suku, kaum, dan nagari. Pewarisan tanah itu didasarkan atas
sistem kemasyarakatan yang berpola matrilineal (garis keturunan dari pihak ibu)
yaitu dari mamak (paman) ke kamanakan (keponakan). Dengan adanya pemilikan
tanah tersebut, maka seseorang dapat berkuasa atas tanah tersebut.[7]
Kekayaan,
terutama dalam bentuk tanah menurut tradisi orang Minangkabau dapat
dikategorikan ke dalam beberapa bentuk, berupa harato pusako (harta pusaka),
tanah rajo, dan tanah ulayat. Harato pusako dimiliki oleh setiap kaum dalam
suatu suku, dan telah diwariskan melalui beberapa generasi. Harta ini tidak boleh
diperjualbelikan kecuali dipegang-gadaikan yang cenderung bersifat sosial
daripada ekonomi. Dan penggadaian tersebut baru diperbolehkan setelah diadakan
rapat kaum yang dipimpin oleh penghulu dengan didasarkan atas beberapa
pertimbangan.
Selain
itu, ada pula tanah ulayat (tanah nagari) yang dikuasai oleh para penghulu.
Tanah ini berupa rimba belantara dan hutan belukar yang tidak dimanfaatkan
secara langsung oleh penduduk dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
6 . www.gudangmateri.com/pengertian-hukum-adat-menurut-para-ahli/ diakses 16 Maret 2013
7. Amir, M.S, 2003, Adat Minangkabau : Pola dan Tujuan
Hidup Orang Minang, PT. Mutiara
Sumber Widya, Jakarta, hal 44.
|
Selain
itu, ada pula tanah ulayat (tanah nagari) yang dikuasai oleh para penghulu. Tanah
ini berupa rimba belantara dan hutan belukar yang tidak dimanfaatkan secara
langsung oleh penduduk dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Bagi
harato pusako tinggi, berlaku ketentuan adat:
-Tajua indak dimakan bali (terjual tidak bisa dibeli)
-Tasando indak dimakan gadai (agunan tidak dapat digadai).
Hal tersebut mengartikan bahwa harato pusako tinggi tidak boleh dijual.
Sebagai pusaka tinggi, persetujuan penghulu kaum diperlukan untuk
mengubah statusnya, misalkan untuk menggadaikannya. Petitih masyarakat
Minangkabau mengatakan tentang harta warisan itu adalah warih dijawek pusako ditolong (warisan dijawat pusaka ditolong).
Yang artinya sebagai warisan, ia diturunkan kepada yang berhak dan yang berhak
menjawatnya (menyambutnya), tetapi sebagai pusaka (yakni sebagai warisan yang
telah diterima), maka ditolong atau dipelihara karena warisan ini milik bersama
secara turun temurun.
2.
Harato Pusako Randah (Harta Pusaka Rendah)
Harato pusako randah adalah warisan yang ditinggalkan oleh seseorang pada
generasi pertama, karena ahli warisnya masih sedikitlah status harta ini
dipandang masih rendah. Mereka dapat melakukan kesepakatan bersama untuk
memanfaatkannya baik dijual ataupun dibagi-bagi di antara mereka. Pusaka rendah
berarti harta pencaharian suami istri dalam rumah tangga. Atau dengan kata lain
merupakan segala harta hasil pencaharian dari bapak bersama ibu sewaktu masih
hidup dalam ikatan perkawinan, ditambah dengan pemberian mamak (paman) dan
tungganai (lelaki tertua dalam suatu kaum) dari hasil pencarian mamak dan
tungganai itu sendiri.
Dalam konteks material, tanah pusaka sebagai penyangga ekonomi masyarakat
yang turun temurun menjadi terbagi semakin kecil, dan sebahagian telah menjadi
lahan pembangunan.
Secara garis besar, kemunculan sengketa tanah bisa dikarakterisasikan
sebagai berikut. Pertama, karena kesalahan melihat ranji dan pewarisan harta.
Kedua, sistem pegang gadai yang terlalu lama, sering berpindah tangan, dan
sistem Matrilineal mulai diabaikan, sehingga harta pusaka dialihkan ke harta
pencaharian. Ketiga, adanya keirian sosial dan ekonomi dari individu atau
kelompok tertentu terhadap individu atau kelompok lain. Keempat, karena
hilangnya pembatas tanah secara alami. Kelima, menyimpangkan tanah pusaka.
Beberapa keterangan di pedesaan menunjukkan bahwa munculnya perselisihan
mengenai tanah adalah karena adanya pandangan bahwa pembahagian harta warisan
tidak adil, ini disebabkan karena kekaburan garis keturunan keluarga. Kekaburan
ranji (garis keturunan) bisa terjadi bila sebuah kaum yang dulunya memiliki
banyak harta (tanah) kemudian pada suatu masa punah. Kepunahan atas terputusnya
sebuah kaum mengakibatkan kaum yang paling dekat saling berebut harta
peninggalan. Semuanya mengemukakan bahwa pemilik terdahulu sudah menghibahkan
harta tersebut kepada kaumnya, tetapi tidak satupun yang bisa mengemukakan
bukti tertulis karena sistem hibah sering berlangsung secara lisan, oleh sebab
itu dalam mengajukan bukti-bukti sering terjadi pembelokan ranji, sebab dalam
konflik harta pusaka, ranji memang menjadi unsur yang penting, yaitu sebagai
unsur penentu kepada siapa harta akan diberikan.
Bagi petani yang tidak mempunyai
tanah, tanah yang cukup luas dan tidak diolah sering menjadi sasaran, Biasanya
petani-petani yang mempunyai hubungan keluarga jauh, atau orang-orang malakok
(bergabung) yang miskin dan kurang mendapat perhatian dari keluarga luar yang
ditempati akan melirik harta tanah yang luas tidak digarap itu. Mereka mencari
suatu jalan bagaimana bisa memiliki harta tersebut. Bisa jadi akan terjadi
persengkongkolan antara orang-orang yang malakok, yang sudah lama dan
berkembang untuk meggugat sebidang tanah tersebut.
Masalah lain adalah sukarnya
menyelesaikan masalah sengketa tanah di Minangkabau. Kenyataan ini terjadi
karena, pertama, menurunnya peranan penghulu terhadap kemenakan, sebab
kemenakan merasa lebih bijak karena pendidikannnya lebih tinggi, kedua, adanya
dikotomi antara pimpinan adat dan pimpinan resmi pemerintah desa. Dua hal ini
sering mengakibatkan mengembangnya pemecahan sengketa di Minangkabau, akibatnya
adalah tidak selesainnya sengketa di pedesaan.
Konflik pertanahan di Minangkabau secara spesifik bisa dirumuskan
sebagai, perampasan hak milik, pencegahan dari gangguan, serta tindakan
kekerasan, semua itu pada umumnya berkaitan dengan sistem keluarga matrilineal,
sebab sistem ini ikut mendorong atau memberi peluang akan terjadinya sengketa.
Pegang gadai dan pewarisan adalah masalah yang utama yang sering mendorong
terjadinya sengketa, sebab sistem ekonomi ini dilakukan pada umumnya tanpa
surat.
Selain itu sistem malakok atau bergabung ke penghulu lain juga
mengakibatkan perselisihan di kemudian harinya, sebab tanah yang diserahkan
untuk anggota suku yang baru, pada suatu saat akan direbut kembali oleh anggota
suku asli sementara orang malakok, karena sudah lama menggarap tanah yang
pernah diserahkan kepadanya tidak mau lagi melepas tanah tersebut, sebab tanah
itu juga sudah diwariskan turun temurun. Jika satu bidang tanah dikembalikan,
maka tanah-tanah lainnya bisa jadi akan digugat juga oleh kelompok lain, karena
statusnya juga pemberian.
Sengketa tanah yang terjadi dalam satu suku biasanya disebabkan oleh
keirian sosial. Masyarakat pedesaan yang dinamika ekonominya tidak sama juga
mengakibatkan perbedaan tingkat ekonomi. Ada masyarakat yang ekonominya cukup
stabil dan dinamis, dan ada juga yang hanya mampu mencukupi kebutuhan hidup
harian, dan ada juga yang tidak bertanah sama sekali.
Masyarakat yang berekonomi stabil kebanyakan mempunyai tanah namun tidak
digarap dengan baik, tanah-tanah tersebut ditinggalkan kepada famili di
kampung, sementara mereka tinggal di kota. Bagi yang sudah memiliki mata
pencaharian di kota, tanah di kampung dianggap sebagai investasi, jadi tetap
dijaga dengan baik untuk masa depan, jika mungkin suatu saat anak-anak mereka
ada yang kesusahan. Sementara itu famili
yang dititipkan tanah tadi sudah memanfaatkan dan tentu saja merawat tanah
tersebut dengan baik. Dan muncullah kesulitan jika suatu saat pemilik tanah
kembali untuk mengambil tanahnya pada saat diperlukan, sementara hubungan
kekerabatan di antara mereka masih kurang bisa dideskripsikan secara mendetil,
apalagi bagi anak-anak mereka kelak, dan itulah yang akan menimbulkan sengketa
di antara mereka.
2.4 Peran Pekerja Sosial dalam Menghadapi Masalah
Peran
pekerja sosial di dalam sengketa ini bisa dikategorikan ke dalam beberapa
peran.
Yang pertama, pekerja sosial bisa
berperan sebagai fasilitator. Pekerja sosial dapat
membantu klien untuk mampu menangani tekanan situasional dan transisional. Strategi-strategi khusus untuk
mencapai tujuan tersebut meliputi: pemberian harapan, pengurangan penolakan dan
ambivalensi, pengakuan dan pengaturan perasaan-perasaan, pengidentifikasian dan
pendorongan kekuatan-kekuatan personal dan asset-asset sosial, pemilahan masalah
menjadi beberapa bagian sehingga lebih mudah dipecahkan, dan pemeliharaan
sebuah fokus pada tujuan dan cara-cara pencapaiannya (Barker, 1987:49).
Peran kedua yang dapat
dilakukan pekerja sosial dalam kasus ini adalah sebagai mediator. Peran mediator diperlukan terutama
pada saat terdapat perbedaan yang mencolok dan mengarah pada konflik antara
berbagai pihak. Pekerja sosial berperan sebagai “fungsi kekuatan ketiga” untuk
menjembatani antara anggota kelompok dan sistem lingkungan yang menghambatnya.
Peran ketiga yang
dapat dilakukan adalah sebagai pembela. Peran pembelaan atau advokasi merupakan salah
satu praktek pekerjaan sosial yang bersentuhan dengan kegiatan politik. Peran
pembelaan dapat dibagi dua: advokasi kasus (case advocacy) dan advokasi kelas
(class advocacy). Apabila pekerja sosial melakukan pembelaan atas nama seorang
klien secara individual, maka ia berperan sebagai pembela kasus. Pembelaan
kelas terjadi manakala klien yang dibela pekerja sosial bukanlah individu
melainkan sekelompok anggota masyarakat. Pembelaan dapat dilakukan untuk salah
satu pihak yang bersengketa yang mengajukan diri kepada pekerja sosial untuk membantu
menyelesaikan masalahnya. [8]
Akbar, 8. Akbar Syafan, 2010, Tesis
: Penyelesaian Sengketa Tanah Hak Ulayat dalam Suku Caniago di Nagari Muaro
Angek Kabupaten Solok Provinsi Sumatera Barat, Universitas Diponegoro,
Semarang, hal. 12-20.
|
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Masalah persengketaan yang terjadi di daerah-daerah pedesaan di Provinsi
Sumatera Barat memang cukup rumit karena kedua pihak yang memperebutkan tanah
memiliki alasan khusus dan kita tidak dapat menilai siapa yang salah secara
langsung. Karena pihak yang menitipkan tanah adalah pemilik tanah, dan pihak
yang dititipkan sudah menjaga, merawat, dan juga sudah menggunakan tanah
tersebut dalam jangka waktu tertentu.
Kentalnya aturan adat yang ada jarang menyelesaikan masalah tanah ini
karena melemahnya sistem ekonomi di negeri ini. Persengketaan ini biasanya
dibawa ke pengadilan untuk diselesaikan karena dirasa lebih mengikat.
Globalisasi juga telah menghapus pandangan masyarakat sedikit demi sedikit
terhadap adatnya masing-masing terutama masyarakat yang terlibat persengketaan.
Pekerja sosial dalam hal ini dapat berperan sebagai fasilitator karena
pekerja sosial berperan untuk membantu klien dalam menghadapi tekanan
situasional dan transisional. Lalu peran kedua yang dapat dilakukan yaitu
sebagai mediator, pekerja
sosial berperan sebagai “fungsi kekuatan ketiga” untuk menjembatani antara
kedua pihak yang bersengketa. Peran ketiga yaitu pembela, karena pekerja sosial
dapat membela salah satu pihak yang mengajukan permintaan untuk membela dalam
penyelesaian kasus sengketa tanah ini.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Akbar, Syafan. 2010. “Penyelesaian
Sengketa Tanah Hak Ulayat dalam Suku Caniago di Nagari Muaro Angek Kabupaten
Solok Provinsi Sumatera Barat, Tesis, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro,
Semarang.
2. Amir, M.S. 2003. Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup
Orang Minan., Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya.
3.
Syafruddin
Kalo. 2006. “ Kebijakan Kriminalisasi Dalam Pendaftaran Hak-Hak Atas Tanah Di Indonesia”
Suatu Pemikiran, Pidato, Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu Hukum
Agraria pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4.
Subekti Trusto. 2013. Hukum Adat. purwokerto: Universitas
Jenderal Soedirman.
5.
Undang-Undang Dasar 1945.
6.
Undang-Undang Pokok Agraria.
7.
www.gudangmateri.com/pengertian-hukum-adat-menurut-para-ahli/ diakses 16 Maret 2013.
8.
http://hkm204.blog.esaunggul.ac.id/2012/10/19/sejarah-hukum-adat/
diakses 16 Maret 2013.
[1] Syafruddin Kalo, Kebijakan Kriminalisasi Dalam Pendaftaran Hak-Hak
Atas Tanah Di
Indonesia : Suatu Pemikiran, Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu
Hukum Agraria pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, 2006, halaman 2.
2. Ibid
3. Ibid, halaman 7.
0 komentar:
Posting Komentar